Teori
Belajar Andragogi
1. Pengertian
Teori Belajar Andragogi
Andragogi berasal dari bahasa Yunani kuno:
"aner", dengan akar kata andr, yang berarti orang dewasa, dan agogus
yang berarti membimbing atau membina. Istilah lain yang sering dipergunakan
sebagai perbandingan adalah "pedagogi", yang ditarik dari kata
"paid" artinya anak dan "agogus" artinya membimbing atau
memimpin. Dengan demikian secara harfiah "pedagogi" berarti seni atau
pengetahuan membimbing atau memimpin atau mengajar anak. Karena pengertian
pedagogi adalah seni atau pengetahuan membimbing atau mengajar anak maka
apabila menggunakan istilah pedagogi untuk kegiatan pendidikan atau pelatihan
bagi orang dewasa jelas tidak tepat, karena mengandung makna yang bertentangan.
Banyak praktik proses belajar dalam suatu pelatihan yang ditujukan kepada orang
dewasa, yang seharusnya bersifat andragogis, dilakukan dengan cara-cara yang
pedagogis. Dalam hal ini prinsip-prinsip dan asumsi yang berlaku bagi
pendidikan anak dianggap dapat diberlakukan bagi kegiatan pelatihan bagi orang
dewasa.
Dengan demikian maka kalau ditarik pengertiannya
sejalan dengan pedagogi, maka andragogi secara harfiah dapat diartikan sebagai
ilmu dan seni mengajar orang dewasa. Namun karena orang dewasa sebagai individu
yang sudah mandiri dan mampu mengarahkan dirinya sendiri, maka dalam andragogi
yang terpenting dalam proses interaksi belajar adalah kegiatan belajar mandiri
yang bertumpu kepada warga belajar itu sendiri dan bukan merupakan kegiatan
seorang guru mengajarkan sesuatu (Learner Centered Training/Teaching).
2. Perkembangan
Teori Belajar Andragogi
Malcolm Knowles dalam
publikasinya yang berjudul "The Adult Learner, A Neglected Species"
yang diterbitkan pada tahun 1970 mengungkapkan teori belajar yang tepat bagi
orang dewasa. Sejak saat itulah istilah "Andragogi" makin diperbincangkan
oleh berbagai kalangan khususnya para ahli pendidikan.
Sebelum muncul Andragogi, yang digunakan dalam
kegiatan belajat adalah Pedagogy. Konsep ini menempatkan murid/siswa sebagai
obyek di dalam pendidikan, mereka mesti menerima pendidikan yang sudah di setup oleh
sistem pendidikan, di setup oleh gurunya/pengajarnya. Apa yang
dipelajari, materi yang akan diterima, metode panyampaiannya, dan lain-lain,
semua tergantung kepada pengajar dan tergantung kepada sistem. Murid sebagai
obyek dari pendidikan.
Kelemahannya Pedagogi adalah manusia (dalam hal ini
adalah siswa) yang memiliki keunikan, yang memiliki talenta, memiliki minat,
memiliki kelebihan, menjadi tidak berkembang, menjadi tidak bisa mengeksplorasi
dirinya sendiri, tidak mampu menyampaikan kebenarannya sendiri, sebab yang
memiliki kebenaran adalah masa lalu, adalah sesuatu yang sudah mapan dan sudah
ada sampai sekarang. Perbedaan bukanlah menjadi hal yang biasa, melainkan jika
ada yang berbeda itu akan dianggap sebagai sebuah perlawanan dan pemberontakan.
Pedagogy memiliki kelebihan, yakni di dalam menjaga rantai keilmuan yang sudah
diawali oleh orang-orang terdahulu, maka rantai emas dan benang merah keilmuan
bisa dilanjutkan oleh generasi mendatang. Generasi mendatang tidak perlu mulai
dari nol lagi, melainkan tinggal melanjutkan apa yang sudah ditemukan, apa yang
sudah dirintis, apa yang sudah dimulai oleh generasi mendatang.
Dalam Andragogy inilah, kita kenal istilah-istilah
Enjoy Learning, Workshop, Pelatihan Outbond,dll, dan dari konsep Pendidikan
Andragogy inilah kemudian muncul konsep-konsep Liberalisme pendidikan,
Liberasionisme pendidikan dan Anarkisme pendidikan. Liberalisme pendidikan
bertujuan jangka panjang untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial yang
ada dengan cara mengajar setiap siswa sebagaimana cara menghadapi
persoalan-persoalan dalam kehidupan sehari-hari secara efektif. Liberasionisme
pendidikan adalah sebuah sudut pandang yang menganggap bahwa kita musti segera
melakukan perombakan berlingkup besar terhadap tatanan politik (dan pendidikan)
yang ada sekarang, sebagai cara untuk memajukan kebebasan-kebebasan individu
dan mempromosikan perujudan potensi-potensi diri semaksimal mungkin. Bagi
pendidik liberasionis, sekolah bersifat obyektif namun tidak sentral dan
sekolah bukan hanya mengajarkan pada siswa bagaimana berpikir yang efektif
secara rasional dan ilmiah, melainkan juga mengajak siswa untuk memahami
kebijaksanaan tertinggi yang ada di dalam pemecahan-pemecahan masalah secara
intelek yang paling meyakinkan. Dengan kata lain, liberasionisme pendidikan
dilandasi oleh sebuah sistem kebenaran yang terbuka. Secara moral, sekolah
berkewajiban mengenalkan dan mempromosikan program-program sosial konstruktif
dan bukan hanya melatih pikiran siswa. Sekolahpun harus memajukan pola tindakan
yang paling meyakinkan yang didukung oleh sebuah analisis obyektif berdasarkan
fakta-fakta yang ada. Hal ini sejalan dengan pendapat Aristoteles tentang
prinsip pendidikan yaitu sebagai wahana pengkajian fakta-fakta, mencari ‘yang
obyektif’, melalui pengamatan atas kenyataan. Anarkisme pendidikan pada umumnya
menerima sistem penyelidikan eksperimental yang terbuka (pembuktian pengetahuan
melalui penalaran ilmiah). Tetapi berbeda dengan liberal dan liberasionis,
anarkisme pendidikan beranggapan bahwa harus meminimalkan dan atau menghapuskan
pembatasan-pembatasan kelembagaan terhadap perilaku personal, bahwa musti
dilakukan untuk membuat masyarakat yang bebas lembaga. Menurut anarkisme
pendidikan, pendekatan terbaik terhadap pendidikan adalah pendekatan yang
mengupayakan untuk mempercepat perombakan humanistik berskala besar yang
mendesak ke dalam masyarakat, dengan cara menghapuskan sistem persekolahan
sekalian.
3. Asumsi-Asumsi
Pokok Teori Belajar Andragogi
Malcolm Knowles (1970) dalam mengembangkan konsep
andragogi, mengembangkan empat pokok asumsi sebagai berikut:
a. Konsep
Diri: Asumsinya bahwa kesungguhan dan kematangan diri seseorang
bergerak dari ketergantungan total (realita pada bayi) menuju ke arah
pengembangan diri sehingga mampu untuk mengarahkan dirinya sendiri dan mandiri.
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa secara umum konsep diri anak-anak masih
tergantung sedangkan pada orang dewasa konsep dirinya sudah mandiri. Karena
kemandirian inilah orang dewasa membutuhkan memperoleh penghargaan orang lain
sebagai manusia yang mampu menentukan dirinya sendiri (Self Determination),
mampu mengarahkan dirinya sendiri (Self Direction). Apabila orang dewasa
tidak menemukan dan menghadapi situasi dan kondisi yang memungkinkan timbulnya
penentuan diri sendiri dalam suatu pelatihan, maka akan menimbulkan penolakan
atau reaksi yang kurang menyenangkan. Orang dewasa juga mempunyai kebutuhan
psikologis yang dalam agar secara umum menjadi mandiri, meskipun dalam situasi
tertentu boleh jadi ada ketergantungan yang sifatnya sementara.
Hal ini menimbulkan implikasi dalam pelaksanaan praktek pelatihan, khususnya yang berkaitan dengan iklim dan suasana pembelajaran dan diagnosa kebutuhan serta proses perencanaan pelatihan.
Hal ini menimbulkan implikasi dalam pelaksanaan praktek pelatihan, khususnya yang berkaitan dengan iklim dan suasana pembelajaran dan diagnosa kebutuhan serta proses perencanaan pelatihan.
b. Peranan
Pengalaman: Asumsinya adalah bahwa sesuai dengan perjalanan waktu
seorang individu tumbuh dan berkembang menuju ke arah kematangan. Dalam
perjalanannya, seorang individu mengalami dan mengumpulkan berbagai pengalaman
pahit-getirnya kehidupan, dimana hal ini menjadikan seorang individu sebagai
sumber belajar yang demikian kaya, dan pada saat yang bersamaan individu
tersebut memberikan dasar yang luas untuk belajar dan memperoleh pengalaman
baru. Oleh sebab itu, dalam teknologi pelatihan atau pembelajaran orang dewasa,
terjadi penurunan penggunaan teknik transmittal seperti yang dipergunakan dalam
pelatihan konvensional dan menjadi lebih mengembangkan teknik yang bertumpu
pada pengalaman. Dalam hal ini dikenal dengan "Experiential Learning Cycle"
(Proses Belajar Berdasarkan Pengalaman). Hal in menimbulkan implikasi terhadap
pemilihan dan penggunaan metoda dan teknik kepelatihan. Maka, dalam praktek
pelatihan lebih banyak menggunakan diskusi kelompok, curah pendapat, kerja
laboratori, sekolah lapang, melakukan praktek dan lain sebagainya, yang pada
dasarnya berupaya untuk melibatkan peranserta atau partisipasi peserta
pelatihan.
c. Kesiapan
Belajar : Asumsinya bahwa setiap individu semakin menjadi matang
sesuai dengan perjalanan waktu, maka kesiapan belajar bukan ditentukan oleh
kebutuhan atau paksaan akademik ataupun biologisnya, tetapi lebih banyak
ditentukan oleh tuntutan perkembangan dan perubahan tugas dan peranan
sosialnya. Pada seorang anak belajar karena adanya tuntutan akademik atau
biologiknya. Tetapi pada orang dewasa siap belajar sesuatu karena tingkatan
perkembangan mereka yang harus menghadapi dalam peranannya sebagai pekerja,
orang tua atau pemimpin organisasi. Hal ini membawa implikasi terhadap materi
pembelajaran dalam suatu pelatihan tertentu. Dalam hal ini tentunya materi
pembelajaran perlu disesuaikan dengan kebutuhan yang sesuai dengan peranan
sosialnya.
d. Orientasi
Belajar: Asumsinya yaitu bahwa pada anak orientasi belajarnya
seolah-olah sudah ditentukan dan dikondisikan untuk memiliki orientasi yang
berpusat pada materi pembelajaran (Subject Matter Centered Orientation).
Sedangkan pada orang dewasa mempunyai kecenderungan memiliki orientasi belajar
yang berpusat pada pemecahan permasalahan yang dihadapi (Problem Centered
Orientation). Hal ini dikarenakan belajar bagi orang dewasa seolah-olah
merupakan kebutuhan untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan
keseharian, terutama dalam kaitannya dengan fungsi dan peranan sosial orang
dewasa. Selain itu, perbedaan asumsi ini disebabkan juga karena adanya
perbedaan perspektif waktu. Bagi orang dewasa, belajar lebih bersifat untuk
dapat dipergunakan atau dimanfaatkan dalam waktu segera. Sedangkan anak,
penerapan apa yang dipelajari masih menunggu waktu hingga dia lulus dan
sebagainya. Sehingga ada kecenderungan pada anak, bahwa belajar hanya sekedar
untuk dapat lulus ujian dan memperoleh sekolah yang lebih tinggi. Hal ini
menimbulkan implikasi terhadap sifat materi pembelajaran atau pelatihan bagi
orang dewasa, yaitu bahwa materi tersebut hendaknya bersifat praktis dan dapat
segera diterapkan di dalam kenyataan sehari-hari.
4. Langkah-Langkah
Pokok dalam Andragogi
Langkah-langkah pokok untuk mempraktikkan Andragogi adalah
sebagai berikut:
a. Menciptakan
Iklim Pembelajaran yang Kondusif: Ada beberapa hal pokok yang dapat dilakukan
dalam upaya menciptakan dan mengembangkan iklim dan suasana yang kondusif untuk
proses pembelajaran, yaitu:
1) Pengaturan
Lingkungan Fisik: Pengaturan lingkungan fisik merupakan salah satu
unsur dimana orang dewasa merasa terbiasa, aman, nyaman dan mudah. Untuk itu
perlu dibuat senyaman mungkin:
a) Penataan dan peralatan
hendaknya disesuaikan dengan kondisi orang dewasa;
b) Alat peraga dengar dan
lihat yang dipergunakan hendaknya disesuaikan dengan kondisi fisik orang
dewasa;
c) Penataan ruangan,
pengaturan meja, kursi dan peralatan lainnya hendaknya memungkinkan terjadinya
interaksi social.
2) Pengaturan
Lingkungan Sosial dan Psikologi: Iklim psikologis hendaknya
merupakan salah satu faktor yang membuat orang dewasa merasa diterima, dihargai
dan didukung.
a) Fasilitator
lebih bersifat membantu dan mendukung;
b) Mengembangkan suasana
bersahabat, informal dan santai melalui kegiatan Bina Suasana dan berbagai
permainan yang sesuai;
c) Menciptakan suasana
demokratis dan kebebasan untuk menyatakan pendapat tanpa rasa takut;
d) Mengembangkan
semangat kebersamaan;
e) Menghindari
adanya pengarahan dari "pejabat-pejabat" pemerintah;
f) Menyusun
kontrak belajar yang disepakati bersama.
3) Diagnosis
Kebutuhan Belajar: Dalam andragogi tekanan lebih banyak diberikan
pada keterlibatan seluruh warga belajar atau peserta pelatihan di dalam suatu
proses melakukan diagnosis kebutuhan belajarnya:
a) Melibatkan seluruh
pihak terkait (stakeholder) terutama pihak yang terkena dampak langsung
atas kegiatan itu;
b) Membangun dan
mengembangkan suatu model kompetensi atau prestasi ideal yang diharapkan;
c) Menyediakan berbagai
pengalaman yang dibutuhkan;
d) Lakukan perbandingan
antara yang diharapkan dengan kenyataan yang ada, misalkan kompetensi tertentu.
4) Proses
Perencanaan: Dalam perencanaan pelatihan hendaknya
melibatkan semua pihak terkait, terutama yang akan terkena dampak langsung atas
kegiatan pelatihan tersebut. Tampaknya ada suatu "hukum" atau setidak
tidaknya suatu kecenderungan dari sifat manusia bahwa mereka akan merasa
'committed' terhadap suatu keputusan apabila mereka terlibat dan berperanserta
dalam pengambilan keputusan:
a) Libatkan peserta untuk
menyusun rencana pelatihan, baik yang menyangkut penentuan materi pembelajaran,
penentuan waktu dan lain-lain;
b) Temuilah dan
diskusikanlah segala hal dengan berbagai pihak terkait menyangkut pelatihan
tersebut;
c) Terjemahkan
kebutuhan-kebutuhan yang telah diidentifikasi ke dalam tujuan yang diharapkan
dan ke dalam materi pelatihan;
d) Tentukan pembagian
tugas dan tanggung jawab yang jelas di antara pihak terkait siapa melakukan apa
dan kapan.
5) Memformulasikan
Tujuan: Setelah menganalisis hasil-hasil identifikasi kebutuhan
dan permasalahan yang ada, langkah selanjutnya adalah merumuskan tujuan yang
disepakati bersama dalam proses perencanaan partisipatif. Dalam merumuskan
tujuan hendaknya dilakukan dalam bentuk deskripsi tingkah laku yang akan
dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut di atas.
6) Mengembangkan
Model Umum: Ini merupakan aspek seni dan arsitektural dari
perencanaan pelatihan dimana harus disusun secara harmonis antara beberapa
kegiatan belajar seperti kegiatan diskusi kelompok besar, kelompok kecil,
urutan materi dan lain sebagainya. Dalam hal ini tentu harus diperhitungkan
pula kebutuhan waktu dalam membahas satu persoalan dan penetapan waktu yang
sesuai.
7) Menetapkan
Materi dan Teknik Pembelajaran: Dalam menetapkan materi dan metoda
atau teknik pembelajaran hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a) Materi pelatihan atau
pembelajaran hendaknya ditekankan pada pengalaman-pengalaman nyata dari peserta
pelatihan;
b) Materi pelatihan
hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan berorientasi pada aplikasi praktis;
c) Metoda dan teknik yang
dipilih hendaknya menghindari teknik yang bersifat pemindahan pengetahuan dari
fasilitator kepada peserta;
d) Metoda dan teknik yang
dipilih hendaknya tidak bersifat satu arah namun lebih bersifat partisipatif.
8) Peranan Evaluasi Pendekatan: evaluasi
secara konvensional (pedagogi) kurang efektif untuk diterapkan bagi orang
dewasa. Untuk itu pendekatan ini tidak cocok dan tidaklah cukup untuk menilai
hasil belajar orang dewasa. Ada beberapa pokok dalam melaksanakan evaluasi hasil
belajar bagi orang dewasa yakni:
a) Evaluasi hendaknya
berorientasi kepada pengukuran perubahan perilaku setelah mengikuti proses
pembelajaran/pelatihan;
b) Sebaiknya evaluasi
dilaksanakan melalui pengujian terhadap dan oleh peserta pelatihan itu sendiri
(Self Evaluation);
c) Perubahan positif
perilaku merupakan tolok ukur keberhasilan;
d) Ruang lingkup materi
evaluasi "ditetapkan bersama secara partisipatif" atau berdasarkan
kesepakatan bersama seluruh pihak terkait yang terlibat;
e) Evaluasi ditujukan
untuk menilai efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan program pelatihan yang
mencakup kekuatan maupun kelemahan program;
f) Menilai
efektifitas materi yang dibahas dalam kaitannya dengan perubahan sikap dan
perilaku.
5. Perbedaan Paedegogi dengan Andragogi
No
|
Asumsi
|
Pedagogik
|
Andragogi
|
1
|
Kosep tentang diri peserta didik
|
Peserta didik digambarkan sebagai seseorang yang
bersifat tergantung. Masyarakat mengharapkan para guru bertanggung jawab
sepenuhnya untuk menentukan apa yang harus dipelajari, kapan, bagaimanacara mempelajarinya, dan apa hasil yang
diharapkan setelah selesai
|
Adalah suatu hal yang wajar apabila dalam suatu
proses pendewasaan, seseorang akan berubah dari bersifat tergantung menuju ke
arah memiliki kemampuan mengarahkan diri sendiri, namun setiap individu
memiliki irama yang berbeda-beda dan juga dalam dimensi kehidupan yang
berbeda-beda pula. Dan para guru bertanggungjawab untuk menggalakkan dan
memelihara kelangsungan perubahan tersebut. Pada umumnya orang dewasa secara
psikologis lebih memerlukan penga- rahan diri, walaupun dalam keadaan
tertentu mereka bersifat tergantung.
|
2
|
Fungsi Pengalaman peserta didik
|
Di sini pengalaman yang dimiliki oleh peserta didik
tidak besar nilainya, mungkin hanya berguna untuk titik awal. Sedangkan
penglaman yang sangat besar manfaatnya adalah pengalaman-pengalaman yang
diperoleh dari gurunya, para penulis, produsen alat-alat peraga atau
alat-alat audio visual dan pengalaman para ahli lainnya. Oleh karenanya,
teknik utama dalam pendidikan adalah teknik penyampaian yang berupa: ceramah,
tugas baca, dan penyajian melalui alat pandang dengar.
|
Di sini ada anggapan bahwa dalam perkembangannya
seseorang membuat semacam alat penampungan (reservoair) pengalaman
yang kemudian akan merupakan sumber belajar yang sangat bermanfaat bagi diri
sendiri mau pun bagi orang lain. Lagi pula seseorang akan menangkap arti
dengan lebih baik tentang apa yang dialami daripada apabila mereka memperoleh
secara pasif, oleh karena itu teknik penyampaian yang utama adalah
eksperimen, percobaan-percobaan di laboratorium, diskusi, pemecahan masalah,
latihan simulasi, dan praktek lapangan.
|
3
|
Kesiapan belajar
|
Seseorang harus siap mempelajari apapun yang
dikatakan oleh masyarakat, dan hal ini menimbulkan tekanan yang cukup besar
bagi mereka karena adanya perasaan takut gagal, anak-anak yang sebaya diaggap
siap untuk mempelajari hal yang sama pula, oleh karena itu kegiatan belajar
harus diorganisasikan dalam suatu kurikulum yang baku, dan langkah-langkah
penyajian harus sama bagi semua orang.
|
Seseorang akan siap mempelajari sesuatu apabila ia
merasakan perlunya melakukan hal tersebut, karena dengan mempelajari sesuatu
itu ia dapat memecahkan masalahnya atau dapat menyelesaikan tugasnya
sehari-hari dengan baik. Fungsi pendidik di sini adalah menciptakan kondisi,
menyiapkan alat serta prosedur untuk membantu mereka menemukan apa yang perlu
mereka ketahui. Dengan demikian program belajar harus disusun sesuai dengan
kebutuhan kehidupan mereka yang sebenarnya dan urutan-urutan penyajian harus
disesuaikan dengan kesiapan peserta didik.
|
4
|
Orientasi belajar
|
Peserta didik menyadari bahwa pendidikan adalah
suatu proses penyampaian ilmu pengetahuan, dan mereka memahami bahwa
ilmu-ilmu tersebut baru akan bermanfaat di kemudian hari. Oleh karena itu,
kurikulum harus disusun sesuai dengan unit-unit mata pelajaran dan mengikuti
urutan-urutan logis ilmu tersebut , misalnya dari kuno ke modern atau dari
yang mudah ke sulit. Dengan demikian, orientasi belajar ke arah mata
pelajaran. Artinya jadwal disusun berdasarkan keterselesaian nya mata-mata
pelajaran yang telah ditetapkan.
|
Peserta didik menyadari bahwa pendidikan merupakan
suatu proses peningkatan pengembangan kemampuan diri untuk mengembangkan
potensi yang maksimal dalam hidupnya. Mereka ingin mampu menerapkan ilmu dan
keterampilan yang diperolehnya hari ini untuk mencapai kehidupan yang lebih
baik atau lebih efektif untuk hari esok. Berdasarkan hal tersebut di atas,
belajar harus disusun ke arah pengelompokan pengembangan kemampuan. Dengan
demikian orientasi belajar terpusat kepada kegiatannya. Dengan kata lain,
cara menyusun pelajaran berdasarkan kemampuan-kemampuan apa atau penampilan
yang bagaimana yang diharap kan ada pada peserta didik.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar